A2.2, Bersama Kita Tumbuh di Sana

Dinding tua jadi saksinya...
Tempat Parkir Sebelah Timur


Seberapa pentingkah kehadiran masa lalu pada masa kini? Barangkali pertanyaan tersebut akan menuai banyak jawaban. Dapat dimengerti karena pertanyaan tersebut bersifat individu, sangat individu. Jawaban dari pertanyaan tersebut sangat bergantung pada cara seseorang memaknai masa lalu. 

Ada yang menganggap masa lalu sebagai penggalan hidup yang layak dikenang, ada juga yang menganggapnya sebagai angin lalu yang layak dibuang. 

Ada yang mengidentikkan masa lalu sebagai kelucuan, ada juga yang menyamakannya dengan ketololan. 

Ya, masa lalu sangatlah multimakna. 


Terlepas dari bagaimana seseorang memaknainya, masa lalu adalah penggalan hidup yang tidak mungkin dapat disangkal. Bagi kita yang pernah tercatat sebagai murid kelas A2.2 lulusan 1988, kita tidak bisa menyangkal bahwa kita pernah bersama dalam satu ruang untuk mengikuti pelajaran PMP. Kita tidak dapat menyangkal bahwa kita merasakan tegangnya saat menghadapi ulangan Biologi. Kita tidak bisa menyangkal bahwa kita garuk-garuk kepala saat menyelesaikan soal-soal Kalkulus dan Trigonometri. Atau, boleh jadi kita sama-sama naksir teman sekelas lalu terlibat dalam persaingan untuk merebut perhatiannya, who knows, kan? Ehm...

Ya, kita pernah merasakan hal yang sama di ruang yang sama, ruang kelas A2.2.
Dinding tua jadi saksinya.

Di kelas yang ceweknya keren-keren, uhuk, itulah, hasrat kita pernah tumbuh. Hasrat untuk menjadi idola, hasrat untuk meraih mimpi, juga hasrat untuk menjerat si buah hati, tumbuh di sana. Tak bisa dimungkiri, beberapa hasrat hanyalah hasrat-hasratan, kalau peribahasanya seperti kecipak menggantang asap, mustahil cyah! Ya, apa boleh buat, waktu itu kita masih unyu dan lunyu. Jadi, ya, dimaklumi saja. 

Seiring waktu, hasrat itu menjalar, berkelana entah ke mana. Dinding tua itu kita tinggalkan. Kita terpisah oleh jarak dan waktu. Untuk sekian lama. Memang nggak semua terpisah, ada satu dua orang yang masih sering bersua, bahkan bersama. Ehm...ehm!

  
Lalu, waktu merangkak. Dua puluh tujuh tahun berlalu, woooii, dua puluh tujuh tahun, cuy! Ya Allah! 

Tiba-tiba sebagian kita yang awalnya tercecer di mana-mana, melihat sebuah cahaya. Seperti bahtera di penjuru samudera, kita menuju titik cahaya, dalam bentuk WA (teriring ucapan terima kasih untuk Jan Koum dan Brian Acton yang mendirikan WA). Adalah Nurdin Budi Mustofa yang dengan semangat empat lima bersusah payah menyalakan cahaya WA ini sehingga belulang yang menyusun rangka A2.2 dapat bersua dan mengumbar masa lalunya. Sepuluh jempol untukmu Din!

Ya, masa lalu itu mulai terburai. Tiba-tiba hidup menjadi penuh warna, dan legit rasanya. Benar kata Madonna, "say good bye to yesterday, it's the word I'll never say...."

Demikianlah.


Comments

  1. Mantabs Bro....!!! 2 Tahun yang penuh sensasi.....

    ReplyDelete
  2. Mintarjo, terima kasih untuk tulisan indahnya. Setuju, Jo, kita angkat topi tinggi tinggi buat Udin!

    ReplyDelete
  3. Iya, Gus. Suk nek mulih kudu nggowo oleh-oleh nggo Udin...... ro aku luwih apik :D

    ReplyDelete
  4. Mint kenangan di tempat parkir yang tak bisa kuluoa adalah pit jengki biruku anyar ilang disitu

    ReplyDelete
  5. Mint kenangan di tempat parkir yg tak bisa kulupakan adalah pit jengki biruku.anyar ilang disitu. Aku nangis takut dimarahi ibu ndak berani pulang. Akhirnya aku pulang dianter pak atmo.

    ReplyDelete
  6. Mint kenangan di tempat parkir yang tak bisa kuluoa adalah pit jengki biruku anyar ilang disitu

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Legends of Sukoharjo

Ramadhan Tempo Doeloe

Trilogi Pesta Reuni: (1) Kami Memberi Reuni, Bukan Janji...!