Hari yang Luar Biasa (Bagian II)




Apa yang tak hilang tertiup zaman? Kenangan!
 
Para mamah dan papah lagi bergaya
Ya, kenangan itu tidak hilang. Meski zaman berganti, kenangan tetap ada, tersimpan aman dalam memori, terendap sejenak dalam angan untuk muncul kembali menyeruak memenuhi  pikiran dan… rasa. Suatu ketika.

Sepulang dari rumah Agus, di sepanjang jalan, kenangan masa lalu berkecamuk di sekujur raga. Pasar Tawangsari, Jembatan Banmati, Kretek Dingin, dan Sritex membangkitkan lagi kenangan masa-masa SMA yang lama terpendam. Samar-samar kenangan itu menjelma menjadi bayangan: Agus (dengan bebek 75 warna birunya) atau Widodo (dengan RX King-nya) atau teman-teman lain yang berasal dari Tawangsari, Bulu, Weru, melintasi tempat-tempat itu sewaktu berangkat sekolah, ah begitu penuh warna. Sekalipun sudah banyak yang berubah di sana-sini, terutama di seputaran Sritex, bayangan itu tetap saja tak berubah.

Satu hal yang tak mungkin kulupa adalah saat main ke rumah Agus, 27 atau 28 tahun lalu. Entah siapa saja waktu itu yang ikut ke sana, yang jelas saat itu aku membuat pecah selebor Yamaha bebek milik Yusuf (teman sebangku saya). Ah, jadi teringat sama Yusuf. Dia jago main gitar spesialis lagu-lagu melankolis milik Tommy J. Pisa atau Obie Mesakh.

Lalu kami (Eko, Udin, Marno, dan saya) membicarakan tentang Yusuf Tri Atmojo. Kata Eko, sekarang rumah Yusuf berada di tepi jalan besar. Eko mengajak mampir ke rumah Yusuf  untuk sekadar menyapa.

Setahuku, Yusuf pernah menjadi guru sekaligus Kepala Sekolah di STM Muhammadiyah, itu lho selatan alun-alun. Saya sering ketemu dia waktu itu (kebetulan ada tetangga yang juga guru di sana). Belakangan dia keluar dari sekolah itu dan mencoba bisnis alternatif (secara spesifik saya nggak tahu bisnis apa). Kami pun mampir ke rumahnya dan kebetulan dia ada. Kita ketemu dan ngobrol nggak jelas. Njuk pamit!
 
Di tempat usaha Yusuf
Lha kemana rombongan ibu-ibu, eh mamah-mamah? Jangan-jangan belanja ke mal Plasa Senayan? Uhuk!

Rencananya, ibu-ibu mau “menculik” dua tokoh penting dalam sejarah kelas A2.2, yaitu Unik dan…ehem, Nuning. Dua sosialita masa lalu itu, memang tokoh yang sangat melegenda dalam setiap hiruk pikuk percakapan para pemuda. Hahaha.  Rencana sudah disusun ndakik-ndakik, udah kayak peristiwa Rengasdengklok aja. Bedanya kalau Rengasdengklok dipelopori Sukarni, yang ini disopiri Suharni. Hehe.

Namun apa boleh buat, salah satu sosialita kita masih di Prambanan, lagi manggung kayaknya haha. Terpaksa rencana penculikan difokuskan ke barat alun-alun, di rumah Nuning Ehem. Kami, para papah dengan penuh tanggung jawab, megikuti gerak gerik para mahmud. 

Singkat cerita, kami menemukan Toyota Yaris diparkir depan rumah Nuning. 

Eko (dengan agak-agak gimana gitu hehe) menghentikan mobilionya di belakang Yaris. Kami, agak kikuk. Udin udah kayak anak SMP yang mau apel pacarnya, masuk enggak…masuk enggak hehehe. Akhirnya dengan segala kekikukannya kami masuk juga, dan bertemu Nuning. Akhirnya setelah 27 tahun kami dipertemukan. Subhanallah!

Sayangnya kami nggak bisa lama. Makasih Ek, Ning. 

Kami pun kembali ke base camp di rumah Eny. Tak terasa nyaris setangah hari kami bercengkrama. Masih ingin lebih lama sebenarnya kita bercanda membentangkan kenangan lama. Apa boleh buat, waktulah yang kurang berpihak. Akhirnya dengan berat hati, kami berpisah. Berpisah untuk berjumpa. Suatu saat. 

Hari itu benar-benar luar biasa.

Saya melesat ke Klaten, dan lupa tadi nggak minta dibungkusin sop buntutnya…hahaha.

Comments

  1. Mint... Bravo.. Hebat tenan sampai terharu aku

    ReplyDelete
  2. weleh... kuwi Ipung to? makasih Pung....

    ReplyDelete
  3. Keren, Jo! Seperti baca tulisan jurnalistik investigatif di Malajah Tempo.
    Salut buat Harni yang berani menerobos birokrasi sekelas sekretariat negara :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. weee.... lha piye to Gus. Harni ki slenthakane mantabs.... hahaha

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Legends of Sukoharjo

Ramadhan Tempo Doeloe

Trilogi Pesta Reuni: (1) Kami Memberi Reuni, Bukan Janji...!